Gambar: republika.co.id |
Gambaran kekompakan legislatif dan eksekutif di Indonesia pasca Pilpres 2014 kemungkinan akan rapuh. Atau setidaknya tak lagi sekokoh sepuluh tahun terakhir. Ini terjadi lantaran sama kuatnya komposisi kubu koalisi dan kubu oposisi di parlemen, kendati gerilya untuk saling unggul belum final.
Memang oposisi tak mesti identik dengan ‘kelompok penjegal’ atau kekuatan politik yang akan mempersulit pelaksanaan program-program pemerintah. Karena sejatinya, oposisi berfungsi mengkritisi kebijakan pemerintah melalui fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang dimilikinya. Namun kita tak bisa menafikkan opini publik yang terlanjur dilekatkan kepada kelompok oposisi sebagai ‘kelompok penjegal’.
Pernyataan Jubir Koalisi Merah Putih (KMP) Tantowi Yahya dalam berbagai kesempatan bahwa KMP bertekad menjadi oposisi yang konstruktif sebagai kekuatan penyeimbang di parlemen, tetap saja ditafsir publik sebagai ‘kelompok penjegal’ atau – meminjam istilah Tantowi - ‘oposisi destruktif’.
Buktinya, hasil jajak pendapat Lingkarang Survei Indonesia (LSI) baru-baru ini memprediksi, Jokowi bisa menjadi presiden yang tak berdaya lantaran kurangnya dukungan DPR atas kebijakan yang dibuatnya sebab koalisi pendukungnya kalah kursi dari Koalisi Merah Putih. Hasil survey LSI itu seakan menjadi simpul dari kekhawatiran masyarakat atas berbagai gerilya politik yang tengah berlangsung.
Kita tentu bisa menangkap makna dari ‘presiden tak berdaya’ itu. Apalah artinya kekuasaan eksekutif kalau setiap kebijakannya “dijegal” legislatif. Tinggal menghitung hari untuk jatuh atau dijatuhkan, kendati dalam konstitusi kita tak mengenal ‘mosi tidak percaya’ sebagai mekanisme konstitusional untuk menggulingkan Kepala Pemerintahan.
Sumber : kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar