Hohoho kayaknya ketika angka countdown memasuki 100 kebawah, sudah banyak nah yang mulai mempersiapkan untuk perayaan Natal baik kampus, perkumpulan muda-mudi, sekolah dan sebagainya. Kantor-kantor juga. Cuma aku sih mau ingatin aja jangan sampai kita mengalami pergeseran makna Natal itu.
Sebenarnya tulisan ini tu uda lama banget aku bahas kalo ga salah tahun 2012 di blog lamaku, tapi kayaknya sih 2014 ini masih nempel banget kesannya. Ya harapan di 2014 ini masih sama seperti dulu-dulu, tetap dalam kesederhanaan. Tulisan ini buat semua organisasi yang akan mengadakan perayaan Natal tahun tanpa terkecuali.
Kita semua tahu khususnya orang Kristen bahwasanya dari cerita yang diajarkan oleh guru sekolah minggu kita dulu bagaimana Yesus itu lahir. Kandang domba menjadi pilihan. Flashback sedikit sebelumnya Maria adalah tunangan Yusuf yang secara karunia dari Tuhan dia mengandung bayi yang berasal dari Roh Kudus. Nah pada saat itu ketika sudah waktunya Maria untuk melahirkan, mereka pun mencari tempat penginapan. Namun apa yang terjadi semua menolak untuk menerima mereka. Alih-alih sebuah rumah penginapan dengan kasur hangat dan perapian, sebuah kandang domba dan palungan untuk makanan hewan ternak yang menjadi altar kelahiran Juruselamat dunia.
Ada dua hal yang akan dibahas dalam tulisan ini terkait persiapan aku dan kalian yang akan sedikit lebih sibuk dalam 2 bulan ini.
Pertama, Bahwa Yesus lahir dalam sebuah kesederhanaan.
Ga dipungkiri itu hal yang sudah kita semua tahu sebagai orang Kristen, kandang domba itu merupakan simbol dari yang rendah dari yang terendah. Ga perlu survei pun aku udah bisa membayangkan orang miskin sekalipun pada zaman itu ga akan memilih lahir di dalam sebuah kandang.
Nah ibarat sebuah ironi dari apa yang Yesus sudah ajarkan bahkan pada saat dia lahir, sekarang ini semua yang merayakan Natal pasti dengan konsep se-glamour mungkin. Atau istilah lainnya itu bagaimana spectator atau penonton yang merupakan jemaat bisa terpuaskan. Kebanyakan yang membuat perayaan itu ingin membuat sebuah kesan bahwa acara tersebut meriah dengan alasan bersukacita secara penuh menyambut kelahirannya. Tetapi kalau dilihat malah terjadi pergeseran makna. Yang dicari adalah kemewahan. Semakin mewah dan wah acara perayaan, semakin dipandang lah panitia nya. Bahkan gak heran kalau ada sebuah perayaan yang menghabiskan anggaran sampa ber-ber-ber lah rupiahnya. Jadinya panitia menargetkan bahwa acara ini harus sukses, harus waw.
Nah paradigma ini yang menjadi ironi.Yesus lahir ga muluk-muluk kok hanya beralaskan palungan mungkin bisa dibayangkan kain lampin dan jerami ditemani orangtua dan ternak serta para gembala yang menjadi saksi pertama kelahirannya. Ya saksi pertama, bukan dokter atau perawat, mungkin zaman dulu itu tabib, tetapi gembala. Kenapa gembala? Gembala merupakan suatu pekerjaan untuk masyarakat golongan bawah. Nah pada saat kelahiran saja sudah didasarkan konsep sederhana, kenapa sekarang kita yang hanya memperingati kesederhanaan itu malah bermeriah?
Ya memang kita tidak boleh membatasi ukuran uang untuk Tuhan, karena kita memang diajarkan untuk mempersembahkan seluruhnya kepadaNya. Tapi kembali kita lihat, apakah itu semua untuk Tuhan? Apakah itu semua memang menyambut Dia atau kita mempersiapkannya dengan mewah karena gengsi dan malu dengan apa yang akan undangan omong nantinya?
Kedua, Bahwa Yesus lahir di dalam sebuah kandang domba.
Kandang domba? Kemana kasur empuk? Dimana ibu bidan?
Tapi kalau dipikir-pikir, Dia itu Raja semesta. Dia memiliki kuasa untuk memilih tetapi kenapa harus dalam kandang domba?
Yang ku tangkap dalam hal ini adalah pada saat itu dan zaman sekarang tidak jauh berbeda. Kita masih menolak untuk menerima kedatangan Yesus. Dia datang dalam sebuah keluarga sederhana yang ‘mungkin’ dinilai pada saat itu oleh para pemilik penginapan kalau mereka tidak bisa membayar. Padahal yang akan datang itu Juruselamat, Raja Besar.
Nah pada zaman sekarang ini tidak jauh beda, kita merayakan natal tetapi dengan hati yang menolak kesan sederhana natal itu. Jujur saja minimal baju baru lah. Ya kesan kita selalu ingin yang mewah saat Natal itu lah yang membuat kita menolak kedatangan Yesus. Hadirnya keinginan-keinginan tersebut menutupi makna Natal sebenarnya. Kita bisa lihat di kota-kota besar dunia bagaimana mereka menghias dan berpesta pada saat menyambut Natal. Seolah-olah kita dibutakan terhadap makna Natal yang adalah kelahiran Juruselamat itu.
Terlepas dari dua makna tersebut tentu jadi ada pertanyaan besar bagaimana merayakan Natal itu. Ya simple nya boleh merayakan dengan cara apapun asalkan esensi nya tidak hilang. Jujur aja kalau mendengar lagu Malam Kudus atau O Holy Night dengan efek panggung dan musik waw dibandingkan hanya dalam keheningan diiringi alunan kecil pasti berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar